Jumat, 27 April 2012

Dulu Sopir di ARAB, sekarang Pemilik SARI-SARI Swalayan Group

Trisno Yuwono, pemilik Sari-sari Swalayan di Blitar

 SUARAPOS.blogspot.com — Pengalaman bisa ditimba dari mana saja. Asal ada tekad, mimpi yang diperjuangkan membuahkan hasil. Demikian juga yang berlaku pada Trisno Yuwono. Mengawali usia produktifnya sebagai TKI, ia sukses mengembangkan Sari-Sari Swalayan di Blitar. 

Di tengah dominasi jaringan minimarket yang berkembang dengan sistem waralaba, masih ada pengusaha di daerah yang bisa bersaing. Salah satunya adalah Sari-Sari Swalayan di Blitar. Tujuh gerai milik Trisno Yuwono itu tetap bisa bertahan dan berkembang dengan omzet total mencapai miliaran rupiah per tahun. 

Sejak memulai bisnis ini pada tahun 2000 hingga sekarang, Trisno sudah memiliki tujuh gerai Sari-Sari Swalayan yang tersebar di daerah Blitar dan Tulungagung, Jawa Timur. "Satu gerai bisa menghasilkan omzet lebih dari Rp 10 juta per hari,” kata lelaki kelahiran Blitar, 12 Agustus 1970 ini. Alhasil, ketujuh swalayannya mampu mencatatkan omzet hingga Rp 35 miliar per tahun.

Sebenarnya, menjadi pengusaha eceran bukanlah cita-cita Trisno. Pendidikan terakhir suami Eva Karisma Dewi ini adalah Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Blitar, Jawa Timur. "Cuma sebentar kuliah. Saya pikir kalau lulus cuma menjadi guru. Saya memilih keluar tanpa tahu mau bekerja apa,” ujar lelaki berkepala plontos ini.

Peristiwa meletusnya Gunung Kelud yang terjadi pada 1991 mendorong Trisno mencari penghidupan yang lebih baik di kota lain. Targetnya bukan ke Jakarta atau kota besar di Indonesia, ia memilih menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi. "Waktu itu, ada tetangga yang menjadi TKW di Arab pulang. Saya tanya dia bagaimana prosesnya bisa bekerja di Arab,” kenangnya. 

Trisno bermimpi, dengan menjadi tenaga kerja di luar negeri, penghidupannya bisa lebih baik ketimbang menjadi seorang guru. "Pada tahun 1991, di Blitar belum banyak yang menjadi TKI. Saat itu saya nekat saja, mencoba-coba,” ujar bapak tiga anak ini. 

Kala itu Trisno berstatus pengangguran. Ia nekat pergi ke Surabaya untuk melamar menjadi TKI. "Menurut teman saya, penyalurnya ada di Surabaya,” katanya. Berbekal uang Rp 1,5 juta hasil menjual sepeda motor, ia tidak kesulitan membiayai segala urusan administrasi di perusahaan penyalur TKI tersebut. 

Sembari menunggu pengiriman, selama dua bulan Trisno berada di penampungan TKI di Jakarta, tanpa ada pembekalan keterampilan. "Kerjanya cuma makan dan tidur,” katanya. Alhasil, ketika dikirim ke Arab Saudi, dia tidak bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Arab. 

Tugas awal Trisno sebagai TKI di Arab Saudi adalah bekerja sebagai sopir di kantor gubernur Kota Tabuk. Karena ketidakmampuan berbahasa asing, ia suka dikerjai majikan dan teman-teman sopirnya yang berasal dari negara lain. Ia juga sering menjadi pesuruh yang mengurusi kebun. Padahal, itu bukan bagian dari kontrak kerja sebagai sopir.

Sebagai sopir, Trisno digaji 800 real atau setara dengan Rp 400.000 kala itu. Setelah setahun bekerja di kantor gubernur, lantaran ketidakcocokan dengan majikan, ia diberhentikan dari pekerjaannya dan disuruh pulang ke Indonesia dengan biaya sendiri. Karena tidak punya uang, ia memilih tetap bertahan di Arab.

Beruntung ada seseorang yang menawarinya pekerjaan sebagai pegawai di toko perabot milik orang Sudan. Trisno digaji 1.350 real. Ia suka bekerja di tempat itu karena majikannya sangat baik. Jam kerjanya pasti antara pukul 07.00 hingga lepas maghrib. "Di toko perabot ini saya belajar menghafal dan menata barang, selain pengelolaan toko,” tuturnya. 

Selepas maghrib, Trisno bekerja sebagai pemasok produk pangan asal Indonesia untuk toko sembako milik orang Thailand. "Awalnya, saya iseng saja ngobrol dengan orang Thailand soal bisnisnya. Saya pun memberanikan diri menjadi pemasok barang dari Indonesia,” ujarnya. Yang dia pasok berupa cabai, petai, jahe, dan beberapa bumbu lain.
Berkembang berkat persaingan
Sampai tahun 1999, Trisno masih bekerja dobel. Hasilnya, dia bisa mengantongi tabungan sebesar Rp 20 juta kala itu. "Tahun 1998, kurs dollar sedang tinggi,” ceritanya. Alhasil, tahun 1999, istrinya minta pulang ke Indonesia karena sudah saatnya anak pertamanya sekolah. 

Sebagian uang hasil tabungannya dipakai untuk membeli sebidang tanah di kampung halaman, Kademangan, Blitar. "Kebetulan, saya mendapat tempat di dekat pasar. Saya memutuskan membuka toko sembako dengan nama Sari-Sari Swalayan,” katanya. 

Kala itu, per hari, gerainya bisa menghasilkan omzet Rp 2 juta. Swalayan Trisno juga menjadi idola di Kademangan.

Trisno semakin mengembangkan bisnisnya lantaran kondisi terdesak. Setelah dua tahun usahanya berjalan, ada jaringan swalayan yang lebih besar dan sudah memiliki banyak cabang berencana membuka cabang baru di Kademangan. "Saya terpacu untuk memperbesar gerai. Untung saja, pemilik rumah yang berimpit dengan swalayan saya menawari untuk membeli rumahnya,” kenangnya. 

Alhasil, sebelum swalayan pesaing itu membuka gerai di Kademangan, Sari-Sari Swalayan sudah lebih dulu memperbesar bisnisnya sehingga bisa menyaingi swalayan yang akan buka. Bukan hanya memperluas lokasi, ia juga membuka cabang di tempat lain. 

Trisno bersyukur dengan datangnya pesaing di bisnis swalayan. ”Kalau tidak ada pesaing, mungkin saya tidak terpikir membuat cabang,” katanya. Terbukti, saat jaringan minimarket dengan sistem waralaba mulai masuk, bisnisnya ikut terdongkrak. 

Trisno punya strategi, harga barang di minimarket waralaba sudah diatur oleh pusat. "Karena saya sudah tahu harga pasokannya dan bisa mengatur harga jual, saya leluasa memainkan harga. Dari situ, konsumen akan memilih yang lebih murah,” katanya. 

Trisno bilang, saat ini, dia akan memaksimalkan ketujuh gerainya. Meski begitu, dia juga berencana untuk menjajal bidang usaha yang lain. "Mulai tahun ini, saya ingin berbisnis fesyen,” ujarnya.(Fransiska Firlan/
Kontan)
Sumber : Kompas

<

Artikel Terbaru